Tiada obat yang lebih mujarab untuk para perindu selain bertemu
Setelah 7bulan hanya bertatap lewat layar datar, hari ini kita berjumpa. Ternyata ini rasanya, aku cuma bisa diam. Karena bingung dengan perasaanku sendiri. Mau bicara, tak ada tema. Ingin diam, tapi tak enak. Cuma bisa memandangimu dan terus menyebut nama Allah atas nikmat pertemuan ini.
Akan kuingat baik pemandangan ini, ekspresi anak-anak ketika pertama bertemu denganmu. Ada yang memeluk, mencium dan ada yang merajuk. MaasyaaAllah... Sungguh pemandangan langka, yang membuatku gemetar ketika mengabadikannya.
Kini aku merasa sempurna kembali, tak perlu membawa buah hati seorang diri. Yang mungkin dianggap wanita yang suka wara wiri, padahal sudah pakai hijab syar'i. Ingin kutunjukkan pada semuanya, bahwa aku mempunyai suami.
Disaat bahagia seperti ini pun, syaitan seperti cemburu padaku. Tak berhenti mereka mengusik batinku. Sampai aku tak bisa membedakannya, ini permainan konyol mereka atau memang firasat wanita?
Harusnya ini hari-hari paling nyenyak dalam tidurku. Tanpa gelisah karena ia ada disini. Tapi mengapa makin susah ku pejamkan? Sungguh, ini menyiksa perasaanku sendiri. Sedangkan hari terus berganti, dan dia akan segera pergi (lagi). Harus segera ku selesaikan, perang batin ini, jika tak malam ini, mungkin esok hari.
Setiap malam batinku seperti membuka layar, layar yang membuatku menanam prasangka. Tapi jika hanya prasangka, kenapa begitu menyiksa? Harusnya tak sampai membuatku susah memejamkan mata, harusnya tak sekarang ini, harusnya kemarin atau berminggu dan berbulan lalu.
Kuserahkan dalam doaku kepada Allah, Sebaik-baik penjaga. Karena Allah Maha melihat sedangkan penglihatanku sangat terbatas. Karena keadaan ini, merupakan lahan yang sangat disukai syaitan, dimana suami dan istri saling berjauhan.
Aku tak bisa menjaminkan apa-apa disini, ketika pertama melihatku, beginilah adanya diriku. Yang mungkin jauh dengan apa yang ada di luar sana. Yang tak sanggup ku tandingi. Semoga tetap menjadi yang tercantik dimatamu, itu doaku. Sekalipun tak pernah aku mendengar itu, darimu. Aku coba menguatkan diri dengan husnudzan, karena nyatanya pujian itu kebutuhan seorang istri, tapi bukan untuk tiap wanita.
Bahkan saat menulis ini, dadaku bergemuruh, syaitan syaitan ini makin berusaha menguasaiku. Kuberikan kepercayaanku padamu, tapi ku sisipkan secuil rasa curiga di sana, agar aku tetap jadi wanita yang waspada.
Tundukkan pandanganmu disana, aku disini tak biarkan lelaki lain memandangku.